Cari Blog Ini

27 Jan 2018

It's a beautiful day!!!

Merdeka atau mati!!!
Merdeka atau mati bukan pilihan bagi Tirna, gadis kecil mungil berperangai cantik
Merdeka bisa keluar dari rumah kecil dan sumpek penuh pertengkaran orang tuanya tentang masalah ekonomi lagi-lagi bukan pilihan tapi paksaan.
Terpaksa keluar karena di depan pintu sudah menunggu seorang pria paruh baya yg sudah memiliki selusin anak dari 3 istri ayu namun masih kurang dan kembali meleleh begitu melihat paras ayu Tirna, anak penjudi yang selalu malang nasibnya.
Mati bukan pilihan, tapi paksaan dari kedua orang tuanya untuk menikahi laki-laki bermata belang yg haus dengan keperawanannya demi melunasi hutang orang tuanya yang tak setimpal dengan harga dirinya yang perlahan mulai mati.
Merdeka begitu melangkah keluar pintu rumah dan mati perasaannya begitu menginjakkan langkahnya melewati pintu rumah barunya.


3 Okt 2015

Aroma Kopi

“Kalau kita menikah nanti, rumah harus dipenuhi aroma kopi, siang dan sore.” “Loohh… aku kan ndak suka kopi. Teh lebih menyehatkan. Apalagi teh hijau. Protesku dengan cepat.” “Yah, kamu ndak usah meminumnya, cukup menciumnya. Pelan2 belajar mencintai aroma kopi lalu pelan-pelan menyeruputnya. Kopi tak pernah memaksa dirinya untuk dicintai loh, tetapi kita manusia yang sudah mengenalnya akan terus menerus jatuh cinta kepadanya.”
Dan sekarang aku duduk di pojokan kedai favorit kami ditemani dengan secangkir kopi dengan lambang hati di atasnya. Ada banyak cinta antara aku dan kopi tetapi juga ada luka di dalam setiap cangkirnya. Rinduku hanya bisa kuwujudkan dengan mencium aroma dan memandang cangkir2 yang tak akan pernah berani kuseruput. Terlalu pahit walau dijejali kilo-an gula. Kubiarkan kopi menguap meninggalkan aroma khasnya karena ku tahu di dekatku ia akan duduk dan menciumnya, tak berwujud sama seperti aroma-aroma itu.

Di Atas Sana

Dulu kau pernah bercerita bahwa ada satu tempat yang sangat indah di dunia ini. Tempat para dewa dan dewi berdiam. Tempat para peri bersemayam. Tempat itu jauh, tinggi sekali di atas sana, di atas puncak itu tunjukkmu. Di sana hanya ada damai, bahagia dan rasa aman. Hanya di sana kita dapat berteman dan harus berteman dengan hewan yang paling liar sekalipun. Tak ada rasa curiga atau prasangka buruk.
Ya, di sana, di atas puncak gunung itu, kita belajar untuk lebih memaknai diri. Hidup itu adalah perjuangan.Tidak ada kata instan.
Di atas sana, kita merasa kecil, karena memang kita kecil. Ego di dalam diri kita yang terlalu besar sehingga kita sering membusungkan dada lalu berkata “ini saya”.
Di atas sana kita bebas menikmati setiap jengkal tanah. Semua bebas menghirup udara segar dan memandang gumpalan awan yang bergelayutan di langit.
“Kau harus ke sana!” katamu waktu itu.
Sekarang, aku berdiri di sini, mencoba merenungi semua ucapanmu. Mengingat perkataanmu “kau harus kesana!”
Di atas sini ku titipkan salam dan rindu teramat dalam melalui desir angin “aku sudah sampai! semoga kita dapat bertemu lagi.”