“Kalau kita menikah nanti, rumah harus dipenuhi aroma kopi, siang dan
sore.” “Loohh… aku kan ndak suka kopi. Teh lebih menyehatkan. Apalagi
teh hijau. Protesku dengan cepat.” “Yah, kamu ndak usah meminumnya,
cukup menciumnya. Pelan2 belajar mencintai aroma kopi lalu pelan-pelan
menyeruputnya. Kopi tak pernah memaksa dirinya untuk dicintai loh,
tetapi kita manusia yang sudah mengenalnya akan terus menerus jatuh
cinta kepadanya.”
Dan sekarang aku duduk di pojokan kedai favorit kami ditemani dengan
secangkir kopi dengan lambang hati di atasnya. Ada banyak cinta antara
aku dan kopi tetapi juga ada luka di dalam setiap cangkirnya. Rinduku
hanya bisa kuwujudkan dengan mencium aroma dan memandang cangkir2 yang
tak akan pernah berani kuseruput. Terlalu pahit walau dijejali kilo-an
gula. Kubiarkan kopi menguap meninggalkan aroma khasnya karena ku tahu
di dekatku ia akan duduk dan menciumnya, tak berwujud sama seperti
aroma-aroma itu.
Cari Blog Ini
3 Okt 2015
Di Atas Sana
Dulu kau pernah bercerita bahwa ada satu tempat yang sangat indah di
dunia ini. Tempat para dewa dan dewi berdiam. Tempat para peri
bersemayam. Tempat itu jauh, tinggi sekali di atas sana, di atas puncak
itu tunjukkmu. Di sana hanya ada damai, bahagia dan rasa aman. Hanya di
sana kita dapat berteman dan harus berteman dengan hewan yang paling
liar sekalipun. Tak ada rasa curiga atau prasangka buruk.
Ya, di sana, di atas puncak gunung itu, kita belajar untuk lebih memaknai diri. Hidup itu adalah perjuangan.Tidak ada kata instan.
Di atas sana, kita merasa kecil, karena memang kita kecil. Ego di dalam diri kita yang terlalu besar sehingga kita sering membusungkan dada lalu berkata “ini saya”.
Di atas sana kita bebas menikmati setiap jengkal tanah. Semua bebas menghirup udara segar dan memandang gumpalan awan yang bergelayutan di langit.
“Kau harus ke sana!” katamu waktu itu.
Sekarang, aku berdiri di sini, mencoba merenungi semua ucapanmu. Mengingat perkataanmu “kau harus kesana!”
Di atas sini ku titipkan salam dan rindu teramat dalam melalui desir angin “aku sudah sampai! semoga kita dapat bertemu lagi.”
Ya, di sana, di atas puncak gunung itu, kita belajar untuk lebih memaknai diri. Hidup itu adalah perjuangan.Tidak ada kata instan.
Di atas sana, kita merasa kecil, karena memang kita kecil. Ego di dalam diri kita yang terlalu besar sehingga kita sering membusungkan dada lalu berkata “ini saya”.
Di atas sana kita bebas menikmati setiap jengkal tanah. Semua bebas menghirup udara segar dan memandang gumpalan awan yang bergelayutan di langit.
“Kau harus ke sana!” katamu waktu itu.
Sekarang, aku berdiri di sini, mencoba merenungi semua ucapanmu. Mengingat perkataanmu “kau harus kesana!”
Di atas sini ku titipkan salam dan rindu teramat dalam melalui desir angin “aku sudah sampai! semoga kita dapat bertemu lagi.”
Langganan:
Postingan (Atom)