Cari Blog Ini

20 Jun 2012

Jelajah Pecinan Kota Tua Tangerang

Sudah lama sekali tidak menulis, dan akhirnya saya punya kesempatan untuk bercerita. Well, banyak hal yang terlewatkan tanpa sempat saya tulis, dan sekarang saya mencoba untuk memanggil kenangan-kenangan itu kembali.


27 Mei 2012, saya bersama 2 orang teman saya menjelajahi pecinan Kota Tangerang guna menguak jejak Tionghoa Benteng. Diawali dengan janjian di Tol Jati Bening, Bekasi, kami naik Bus Mayasaribakti jurusan Bekasi - Kalideres. Kami turun di Terminal Kalideres, melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot kecil putih hijau jurusan Kota Bumi. Perjalanan terhenti di depan Gereja Katolik, sebrang KFC arah pasar lama Tangerang. Kami melanjutkan perjalanan dengan naik becak.


Diawal tawar menawar, kami berniat untuk naik 2 becak, tetapi, si abang ngotot bilang bisa bertiga dalam 1 becak. Harga yang ditawarkan adalah 10rb, dan kami pun akhirnya mengiyakan tawaran tersebut yang mengakibatkan rasa was-was disepanjang perjalanan takut becaknya terbalik xiixixixii...




Perjalanan kami pun terhenti di pasar, di depan sebuah gang yang cukup dilewati hanya oleh 1 mobil. Beberapa meter dari perhentian becak tadi, kami langsung menemukan klenteng tua yang ingin kami lihat. Klenteng Boen Tek Bio, yang merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang berumur +/- 3 abad.  Atmosphere ketuaannya sangat terasa. Kami keliling klenteng ini dan tidak lupa untuk mengambil foto di klenteng ini. Saya sangat suka dengan keramahan dan kenyamanan klenteng tua ini. Dominasi warna merah dan emas, layaknya klenteng2 yang ada di seluruh penjuru dunia, membuat klenteng kecil yang berada ditengah pasar terlihat semakin unik dan kokoh, seolah2 ingin bercerita betapa ia sangat bangga dengan keberadaanya yang tak lekang waktu.


Sesi memutar klenteng dan foto-fotopun selesai, saya dan teman-teman saya melanjutkan perjalanan kami ke sebuah museum tua yang berada tepat di belakang klenteng. Museum Benteng Heritage, merupakan museum kecil yang dikelola oleh Bapak Udaya Halim. Memasuki museum tersebut, saya dan kawan-kawan dikenakan biaya Rp. 20rb/orang sebagai biaya administrasi dan guide yang tak hanya sekedar menemani kami berkeliling tetapi juga menjelaskan sejarah berdirinya museum tersebut serta sejarah dari masing-masing koleksi yang ada dengan sangat rinci dan informatif. Saya dan teman-temanpun terkagum-kagum dan seolah-olah terbawa kesuasana jaman dahulu.






Oohh iyah, salah satu informasi yang kerap teringat adalah tangga asli yang digunakan untuk naik kelantai atas tempat koleksi museum disimpan. Untuk naik ke lantai atas kami diharuskan melepas sepatu. Pihak museum menyediakan kantung plastik untuk menaruh sepatu yang kami pakai. Tangga dengan tingkat kecuraman 45 derajat membuat saya pelan2 menapakinya takut terpeleset. Ternyata tangga tersebut merupakan tangga yang umum dimiliki oleh etnis tionghoa di dalam rumahnya. Dan takjubnya lagi, sang pemandu bercerita dia terbiasa lari naik turun tangga model itu waktu ia kecil tanpa pernah terjatuh di dalam rumahnya yang ada di depan kanan museum. Bagi yang sudah menonton film Soegija, tangga dengan model sama digunakan di rumah keluarga Ling-ling. 


Selain tangga, pintu yang menghadap balkon dibagian atas museum juga sangat kental arsitektur Chinanya. Melihat pintu tersebut, saya teringat akan film kungfu yang suka saya tonton jaman SD-SMP dulu. Selain bentuknya yang kokoh, ternyata teknik membukanya pun sulit jika kita tidak tahu caranya, walaupun setelah tahu cara membukanya ternyata sangat mudah hehhehhee.... Salah satu koleksi benda yang cukup menarik perhatian adalah alat timbang yang terbuat dari logam besi panjang yang ujungnya terdapat rantai tajam yang berfungsi sebagai cantelan barang yang akan ditimbang. Setelah berjualan, besi tersebut dipakai untuk menaruh hasil jualan. Berhubung ujung dari timbangan tersebut tajam, maka siapapun yang ingin mengambil hasil jualan harus berfikir panjang alih-alih tersambar ujung besi xixixixixiii...


1 jam sudah kami berkeliling dan mendapat informasi tentang sejarah keberadaan etnis Tionghoa di bumi Indonesia, tepatnya Tangerang sejak berabad-abad lalu. Perut kamipun mulai terasa lapar, sehingga mengharuskan kami berhenti disebuah rumah makan mie ayam kemuning yang letaknya berjejer dengan Klenteng Boen Tek Bio. Saya pun memesan segelas es teh manis, semangkuk mie ayam dan 1 porsi swekiau (yang saya bagi 2 dengan teman saya). Setelah perut terasa penuh, kami melanjutkan perjalanan kami dengan menaiki angkot kecil menuju Klenteng Bun San Bio.






Klenteng besar yang berada tepat di pinggir jalan Pasar Baru, membuat Klenteng ini mudah untuk dicari. Kami pun masuk dan meminta izin ke sekretariat untuk berkeliling dan mengambil beberapa foto di dalam klenteng. Berbeda dengan klenteng sebelumnya, Klenteng Bun San Bio lebih besar dan terdapat taman kecil di bagian belakang klenteng. Arsitektur klenteng ini pun terlihat lebih modern dibanding Klenteng Boen Tek Bio. Memasuki klenteng ini, kita akan mendapat pemandangan unik, melihat lampion-lampion berukuran sedang bergantungan di langit-langit klenteng berbuntut kertas kuning berisikan nama orang serta nama tempat usaha yang dikelola.


Keunikan lain dari klenteng ini adalah klenteng tersebut tercatat berkali-kali memecah rekor MURI. Total rekor sampai saya datang berkunjung sebanyak 11 rekor. Woooww... Salah satu artikel dan foto yang terpajang di sisi kanan klenteng ialah rekor mendirikan 108 butir telur oleh 9 orang dalam kurun waktu 9 menit. Hebat yah, ternyata klenteng ini langganan memecahkan rekor MURI.








Well, setelah berkeliling dan berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Kali ini, kami memutuskan untuk balik ke pasar  lama, dan mencoba untuk meminum es campur yang terletak di sebrang Klenteng Boen Tek Bio. Warung es campur tersebut selalu ramai pengunjung. Untuk merasakan kenikmatan es tersebut, kami harus menunggu lebih dari 15 menit untuk 1 mangkuk es campur. Lamanya menunggu dan panasnya udara hari itu terbalaskan dengan nikmatnya dan segarnya es campur yang kami minum. Sehabis menyantap es campur tersebut kami pun segera pulang menuju rumah masing-masing.






Panasnya udara sepanjang perjalanan tak terasa karena ketakjuban kami masing-masing akan indahnya sejarah kota tua Tangerang. Betapa kayanya negeri kita akan budaya dan suku bangsa. Aaahhh saya bangga menjadi bagian dari keBhinekaan yang ada di negeri tercinta Indonesia. Selamat menjaga akar budaya dan kebhinekaan yang sudah ada. Salam Indonesia :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar